Hukum Shalat untuk Polisi Narkoba: Tamparan Keras bagi Institusi Bhayangkara?


Oleh: ahomeinwords

TANGERANG, INDONESIA – Sebuah kabar menggelitik dari Kalimantan Selatan baru-baru ini mengusik rasa keadilan publik. Enam anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST) kedapatan positif menggunakan narkoba. Namun, alih-alih langsung digiring ke ruang tahanan, mereka justru menjalani "pembinaan rohani" yang salah satunya adalah shalat lima waktu. Narasi ini sontak memicu badai pertanyaan: apakah ini bentuk ampunan dini atau sekadar sandiwara di tengah bobroknya integritas korps penegak hukum?


Kronologi: Tes Urine, Enam Positif, dan "Pembinaan" Kontroversial



Drama ini bermula pada pekan keempat Mei 2025. Sebuah tes urine mendadak digelar di lingkungan Polres HST. Hasilnya mengejutkan: enam polisi yang seharusnya menjadi benteng anti-narkoba, justru terciduk positif. Ini adalah tamparan telak bagi institusi yang kerap menggembar-gemborkan perang melawan barang haram tersebut.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah tindak lanjutnya. Alih-alih langsung diberhentikan atau diproses secara hukum, keenam oknum itu ditempatkan dalam sebuah ruangan khusus di markas Polres. Di sana, mereka menjalani "pembinaan rohani dan fisik." Kabid Humas Polda Kalsel, Kompol Moch. Rofik, menguraikan pembinaan rohani itu: shalat lima waktu, membaca Al-Quran, dan siraman rohani. Seolah-olah, dosa penyalahgunaan narkoba bisa dicuci bersih dengan ritus keagamaan. Pembinaan fisik juga diwajibkan, namun detail shalat inilah yang mengundang cibiran paling pedas dari publik.


Keputusan Hukum: Prosedural yang Menggantung, Citra yang Tergadai



Secara hukum, enam polisi yang positif narkoba ini seharusnya menghadapi konsekuensi berat. Mereka terancam Undang-Undang Narkotika dan Peraturan Kapolri tentang Kode Etik Profesi Polri, yang ancamannya bisa sampai pemecatan tidak dengan hormat (PTDH). Penyalahgunaan narkoba adalah pelanggaran berat yang mencoreng nama baik korps.

Kapolres HST AKBP Jupri JHP Tampubolon dan Kapolda Kalsel Irjen Rosyanto Yudha Hermawan memang telah berdalih bahwa proses hukum dan sidang disiplin tetap berjalan. Pembinaan rohani, kata mereka, hanya sebagai upaya pembinaan mental sembari menunggu jadwal sidang. Tapi, argumen ini justru menimbulkan pertanyaan kritis: mengapa ada jeda waktu untuk "pembinaan" yang terkesan lunak, sementara warga sipil yang terbukti positif narkoba langsung merasakan dinginnya lantai sel? Bukankah penahanan adalah langkah awal yang krusial untuk mencegah potensi pelarian atau penghilangan barang bukti, bahkan bagi internal kepolisian? Alibi ini hanya memperkuat dugaan adanya perlakuan istimewa bagi mereka yang berseragam.


Tanggapan Masyarakat: Ironi, Kekecewaan, dan Hilangnya Kepercayaan

Respons publik, seperti yang diperkirakan, meledak. Media sosial dibanjiri komentar pedas, meme satir, dan ekspresi kekecewaan mendalam. "Mungkin setelah shalat, dosa-dosanya auto hapus, dan bisa kembali bertugas memberantas narkoba," demikian salah satu komentar sarkasme yang populer.

Warganet membandingkan nasib para polisi ini dengan rakyat biasa yang jika terbukti positif narkoba, langsung mendekam di balik jeruji besi tanpa "pembinaan rohani" di ruangan VIP. Persepsi standar ganda ini semakin mengikis kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Masyarakat melihat ada jurang pemisah antara penegakan hukum bagi warga sipil dan bagi internal kepolisian, terutama untuk kasus yang melibatkan pelanggaran serius. Kasus ini seolah mempertegas citra yang kerap melekat: bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, bahkan di dalam rumah penegak hukum itu sendiri.


Institusi Polri di Persimpangan: Menuntut Akuntabilitas Nyata



Kasus enam polisi positif narkoba di HST, dengan bumbu "sanksi" shalat lima waktu, adalah sebuah cerminan getir dari tantangan besar yang dihadapi Kepolisian Republik Indonesia. Ini bukan sekadar persoalan oknum, melainkan potensi masalah sistemik dalam penegakan disiplin dan integritas internal.

Narasi "pembinaan rohani" ini justru memperparah persepsi publik tentang standar ganda dan minimnya akuntabilitas internal Polri. Kepercayaan adalah modal utama institusi penegak hukum, dan kasus semacam ini mengikisnya secara signifikan. Ini adalah waktu yang tepat untuk menuntut reformasi yang lebih mendalam di tubuh Polri, terutama dalam hal pengawasan internal, mekanisme penegakan disiplin, dan transparansi. Pembinaan rohani memang penting, tetapi bukan sebagai pengganti atau penunda proses hukum yang tegas.

Sebagai aparat penegak hukum, anggota Polri memiliki tanggung jawab moral dan profesional yang jauh lebih besar. Penyalahgunaan narkoba oleh mereka bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan kepercayaan rakyat.

Apakah shalat lima waktu cukup untuk membersihkan noda narkoba dari seragam Bhayangkara? Atau ini hanyalah upaya tambal sulam yang tak akan pernah bisa memperbaiki retaknya kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung, bukan pelanggar?

Reactions

Post a Comment

0 Comments