MAGETAN – Perlintasan sebidang kembali memakan korban. Senin, 19 Mei 2025, tujuh pengendara motor mencoba menyeberang di perlintasan JPL 08, kawasan Emplasemen Magetan, setelah palang pintu terbuka usai KA Matarmaja melintas. Namun dalam hitungan detik, KA Malioboro Ekspres datang dari arah berlawanan dan menghantam mereka. Empat orang tewas seketika, belasan lainnya luka-luka.
Insiden itu bukan semata musibah. Ia mencerminkan celah sistemik yang belum tertangani dalam tata kelola keselamatan transportasi kita.
Satu Palang, Dua Kereta
Kronologi kecelakaan menunjukkan adanya kekeliruan prosedural yang fatal. Sekitar pukul 15.30 WIB, petugas penjaga perlintasan menutup palang karena KA Matarmaja akan melintas dari arah timur. Setelah kereta lewat, palang kembali terbuka. Sejumlah pengendara mengira lintasan aman. Namun dalam waktu kurang dari satu menit, Malioboro Ekspres datang dari arah barat. Benturan pun terjadi.
Menurut laporan sementara dari Kepolisian Resor Magetan dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), petugas berinisial S diduga membuka palang terlalu dini. Dugaan sementara mengarah pada miskomunikasi antara pusat kendali, petugas pengatur perjalanan kereta api (PPKA), dan penjaga perlintasan. S kini ditetapkan sebagai tersangka dengan jerat Pasal 359 KUHP: kelalaian yang menyebabkan kematian.
Korban dan Luka yang Tertinggal
Empat korban tewas yang telah diidentifikasi adalah warga lokal: Dodi (pekerja pabrik), Sari (ibu rumah tangga), Andi (mahasiswa), dan Budi (pedagang keliling). Mereka bukan sekadar nama. Masing-masing adalah dunia yang hancur bagi keluarga mereka.
Di balik angka, ada cerita. Di balik satu nama, ada anak yang menanti ayahnya pulang. Ada dapur yang kini sepi. Ada kuliah yang takkan selesai. Ada sepeda motor yang tak akan pernah lagi melintasi jalan pulang.
Sebanyak 13 orang lainnya mengalami luka, tiga di antaranya dalam kondisi kritis dan dirawat intensif di RSUD dr. Sayidiman Magetan.
Lubang Sistem yang Terbuka
KNKT tengah menelusuri kemungkinan adanya kegagalan sistem komunikasi. Data rekaman radio, CCTV di lokasi, dan log GPS kereta sedang dianalisis. Pertanyaan mengemuka: apakah ini murni kesalahan petugas, atau ada kegagalan struktural yang lebih luas?
Pakar transportasi dari ITS, Darmaningtyas, menyebut insiden ini sebagai "tanda bahwa sistem masih bergantung pada manusia, bukan teknologi." Indonesia masih memiliki lebih dari 2.000 perlintasan sebidang aktif, dengan lebih dari 1.200 di antaranya dijaga secara manual. Dalam konteks itu, human error bukanlah risiko, melainkan kepastian.
Respons Publik: Geram dan Gerah
Gelombang protes membanjiri media sosial. Tagar #ReformasiPerlintasan dan #KAIHarusBertanggungjawab jadi trending. Petisi daring menuntut audit menyeluruh terhadap sistem keselamatan perkeretaapian telah ditandatangani lebih dari 120 ribu orang dalam tiga hari.
“Bukan kali pertama ini terjadi,” kata Rini, warga Magetan yang turut menyaksikan kejadian. “Petugas dijadikan tumbal. Sistemnya yang harus dibedah!”
Refleksi: Keselamatan yang Terlupakan
Sebagai jurnalis, saya tidak ingin sekadar menulis angka kematian. Saya ingin menulis peringatan. Karena setiap nyawa yang hilang, sejatinya adalah alarm yang tak boleh lagi kita tunda untuk dengarkan.
Seandainya palang tak terbuka terlalu cepat, barangkali Dodi masih memeluk anaknya malam itu.
Seandainya sistem lebih andal, mungkin Sari bisa menyuapi bayinya sekali lagi.
Seandainya pemerintah lebih cepat berbenah, mungkin Budi masih mengayuh sepeda motornya, menjajakan kue keliling.
Kita tak butuh belasungkawa yang klise. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mengubah sistem yang selama ini dibiarkan rapuh.
Keselamatan bukan produk kebetulan, tapi hasil dari niat dan tindakan yang serius.
Agenda yang Tak Bisa Lagi Ditunda
Pemerintah harus segera:
-
Melakukan audit menyeluruh terhadap perlintasan sebidang nasional,
-
Mengintegrasikan sistem sinyal otomatis yang tidak bergantung pada interpretasi manusia,
-
Meningkatkan kompetensi dan kondisi kerja petugas lapangan,
-
Memastikan pengawasan dilakukan secara real-time oleh sistem pusat, bukan hanya manusia di pos jaga kecil yang kelelahan.
Dan yang paling penting: memperlakukan setiap kecelakaan sebagai gejala penyakit, bukan hanya kejadian.
Tragedi Malioboro Ekspres adalah luka yang menoreh bukan hanya tanah Magetan, tapi nurani kita bersama. Jika setelah ini kita masih diam, bukan hanya sistem yang mati rasa—tapi juga kita.
Sumber: Kompas, Tempo.co, Tribunnews, pernyataan resmi PT KAI & KNKT
0 Comments